Senin, 27 April 2015

Hukum Perikatan



Bab IV
HUKUM PERIKATAN

Pendahuluan
Di dalam sistem pengaturan hukum  perikatan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menganut sistem terbuka, yakni setiap orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apa pun sesuai dengan kehendaknya, artinya dapat menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam Buku III KUH Perdata baik mengenai bentuk maupun isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
            Dengan demikian, apa yang diatur dalam buku III KUH Perdata merupakan hukum pelengkap, yakni berlaku bagi para pihak yang mengadakan perjanjian sepanjang mereka tidak mengesampingkan syarat-syarat dan isi dari perjanjian.

v  Pengertian Perikatan
Perikatan merupakan hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Dalam Bahasa Belanda perikatan disebut dengan Verbintenissenrecht, terdapat perbedaan antara beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah Hukum Perikatan.
            KUH Perdata dalam buku III menyebutkan tentang Perikatan, bukan Hukum Perikatan, seperti diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata bahwa, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang.
            Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Asas-asas Hukum Perjanjian, Hukum Perjanjian ini dalam bahasa Belanda dinamakan het Verbintenissenrecht. Jadi Verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi Hukum Perjanjian bukan Hukum Perikatan.
            R.Subekti, tidak menggunakan istilah Hukum Perikatan tetapi istilah Perikatan sesuai dengan judul buku III KUH Perdata tentang perikatan. Dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata, beliau menulis perkataan Perikatan (Verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab buku III KUH Perdata memuat tentang Perikatan yang timbul dari :
1.      persetujuan atau perjanjian,
2.      perbuatan yang melanggar hukum,
3.      pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemiing)
Untuk perjanjian dalam Bahasa Belanda disebut Overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian disebut Overeenkomstenrecht. Pengertian perjanjian lebih sempit dari perikatan, karena perikatan lebih luas daripada perjanjian. Perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab perikatan itu dapat terjadi karena:
1.      perjanjian (kontrak).
2.      bukan dari perjanjian (dari undang-undang).
Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan tersebutlah yang dinamakan dengan Perikatan.
Dengan denmikian hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menimbulkan perikatan, dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu setiap masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.

v  Dasar Hukum Perikatan
Menurut KUH Perdata, sumber daripada perikatan terdiri dari:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian),
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang, yang terbagi atas:
a.       Karena undang-undang semata, misalnya hukum perkawinan dalam hal hubungan antara orang tua dengan anak, hukum kewarisan.
b.      Karena undang-undang, akibat perbuatan manusia menurut hukum, terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah).
3.      Bukan karena perjanjian, terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
4.      Yurisprudensi, merupakan suatu keputusan hakim yang terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam perkaranya yang sama.
5.      Hukum tertulis dan hukum tidak tertulis (Hukum Adat),
6.      Ilmu Pengetahuan Hukum.

v  Asas-asas dalam Hukum Perikatan
Perjanjian di dalam buku III KUH Perdata menganut suatu Asas Kebebasan Berkontrak dengan sistim terbuka serta menganut Asas Konsensualisme.
            Asas Kebebasan Berkontrak dapat terlihat di dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dikatakan bahwa segala sesuatu perjanjian dibuat secara sah oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sedangkan Sistim Terbuka mempunyai arti bahwa dalam membuat perjanjian para pihak diperkenankan untuk menentukan isi daripada perjanjiannya sebagai undang-undang bagi mereka sendiri. Asas Konsensualisme, dikatakan bahwa perjanjian tersebut lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak  mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Asas Konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu:
1.      Kata Sepakat antara para pihak yang mengikat dirinya.
Sepakat adalah para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok daripada perjanjian yang akan diadakan tersebut. Kata sepakat tersebut dapat batal apabila terdapat unsur-unsur penipuan, paksaan dan kekhilafan. Dalam pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan/penipuan.
2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Bahwa para pihak harus cakap menurut hukum yaitu dewasa dan tidak di bawah pengampun.
3.      Mengenai suatu hal tertentu
Artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terperinci (jenis, jumlah, harga) atau keterangan terhadap objek sudah cukup jelas, dapat diketahui hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.      Suatu sebab yang halal
Artinya bahwa isi daripada perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan/causa yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, apabila salah satu tidak dipenuhi maka salah satu pihak dapat dimintakan pembatalan (canceling), dalam Pasal 1454 KUH Perdata, jangka waktu permintaan pembatalan perjanjian dibatasi hingga 5 tahun, sedangkan dua syarat yang kedua, dinamakan syarat-syarat objektif, apabila salah satu tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (null and void).
Dilihat dari syarat-syarat sah perjanjian maka dapat dibedakan bagian dari suatu perjanjian yaitu:
a.       Bagian Inti (Esensial) merupakan bagian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Sifat ini yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta
b.      Bagian Bukan Inti, terdiri dari:
Naturalia, merupakan sifat yang dibawa oleh perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacad dalam benda yang akan dijual.
Aksidentialia, merupakan sifat yang melekat pada perjanjian hal secara tegas diperjanjiankan oleh para pihak.
Akibat terjadinya perjanjian, undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan Iktikad di baik (tegoeder trouw/ in good faith).

v  Hapus Perikatan
Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan 10 cara penghapusan suatu perikatan :
1.      Pembayaran, merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela,
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
3.      Pembaharuan utang,
4.      Penjumpaan utang atau kompensasi,
5.      Percampuran utang,
6.      Pembebasan utang,
7.      Musnahnya barang yang terutang,
8.      Batal/ pembatalan,
9.      Berlakunya suatu syarat batal,
10.  Lewat waktu.


Referensi :
Elsi Kartika Sari, S,H., 2005, Hukum dalam Ekonomi Edisi Revisi,Grasindo,Jakarta
Simanggusong,Advendi., 2004, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo,Jakarta